Rabu, 17 Oktober 2012

Outsourching - Bisakah diperbaiki?

Kemajuan zaman berimbas dalam banyak hal terhadap gaya hidup manusia. Teknologi industri di awal abad 20 mengubah cara hidup manusia secara drastis. Dari kehidupan pemilik lahan dan petani yang bekerja sesuai irama alam, diarahkan menjadi sebuah perlombaan dengan waktu. Produktifitas dibandingkan dengan waktu, bukan lagi kualitas dan kuantitas hasil. Manusia berpacu untuk produktif sebanyak-banyaknya dengan waktu sesedikit mungkin.

Munculah pabrik dan industri yang mempekerjakan manusia untuk menghasilkan barang produksi sebanyak-banyaknya. Kemudia digantikan dengan mesin produksi, komputerisasi, dan terakhir adalah robotisasi. Produksi pun digenjot hingga 24 jam. Bukan lagi hal aneh melihat industri yang bekerja full speed selama 24 jam. Tahun 1990-an masih hal aneh melihat serombongan wanita berangkat menjelang tengah malam menuju pusat manufacture, namun sekarang hal biasa melihat sekumpulan wanita berseragam sederhana menunggu jemputan untuk diantar menuju kawasan industri. Sungguh perubahan sosial yang sangat jauh dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun.

Para pekerja pun di tuntut untuk selalu siap (ready) untuk bekerja secara long shift maupun over time. Tenaga-tenaga muda kita di kontrak dengan tujuan keuntungan sepihak. Tanpa kompensasi memadahi untuk menjaga kesehatan dan konsentrasi mereka. Teringat dulu sekitar tahun 1995, saat mulai diberlakukannya sistem kerja shift bergantian 24 jam, perusahaan secara sukarela menyediakan roti, susu dan kopi. Namun belakangan fasilitas ini semakin ditiadakan dari kebanyakan pabrik di Indonesia. Bahkan tidak digantikan dengan kompensasi sama sekali. benarkah pengusaha Indonesia mencari keuntungan dari hal-hal demikian?



Sekarang diperparah lagi dengan sebuah sistem yang di copy paste dari negara industri, yaitu sistem Outsourching. Seorang pekerja di kontrak oleh pihak ketiga untuk bekerja di sebuah manufacture dengan menerima kompensasi dibawah standar karena harus dipotong oleh pihak ketiga tersebut. Dan karena pihak ketiga sebagai supplier man power, maka perusahaan tempat mereka bekerja merasa tidak berkewajiban untuk memberikan fasilitas kesehatan, dan asuransi. Apakah pekerja Indonesia disetarakan dengan robot? Bahkan mesin dan robot di industri pun harus di over houl secara berkala, bukan?

Sebagian industri yang jujur di Indonesia, berlaku adil terhadap pegawai outsourchingnya. Pihak ketiga sebagai penyedia layanan tenaga kerja di bayar di awal, sehingga hingga kontrak berakhir tidak akan mempengaruhi gaji bulanan karyawan outsour. Perusahaan menyadari bahwa kondisi prima pekerja adalah berbanding lurus dengan produktifitas di line produksi, maka mereka menyediakan fasilitas klinik kesehatan dan asuransi kesehatan juga. Dengan kondisi ini bukan menjadi masalah lagi status outsourching maupun kontrak langsung.

Sudah selayaknya para pengusaha Indonesia berlaku adil terhadap anak bangsa di negeri sendiri. Pekerja Indonesia selalu menjadi obyek penderita dimana pun mereka berada. Di negeri sendiri diakali dan dicurangi oleh para makelar pekerjaan dengan alasan outsourching atau harus membayar sejumlah cash dimuka sebagai uang muka untuk bisa bekerja. Berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab berusaha mengambil keuntungan dari setiap tetes keringat pekerja di Indonesia. Parahnya pengusaha yang seharusnya menjadi mitra sejajar malah memperparah keadaan, dengan bersikap lepas tangan dan membiarkan sistem outsourching amburadul tersebut.  Dan bekerja di luar negeri, kebanyakan juga tidak lebih baik, tidak ada perlindungan keamanan dan kenyamanan bekerja, sehingga dapat dengan semena-mena diperlakukan oleh pihak pengusaha/majikan setempat. Perlindungan negara terhadap tenaga kerja di luar negeri terutama bagi pekerja non formal masih sangat kurang. Pemerintah seakan tidak memiliki kekuatan hukum atas para anak bangsa yang diiming-imingi predikat "Pahlawan Devisa" tersebut. Pelajaran saya semasa SD dulu, predikat Pahlawan hanya diberikan kepada mereka yang telah gugur setelah mengharumkan nama bangsa. Apakah para pekerja di luar negeri itu memang disiapkan untuk (maaf) MATI?

Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk kemaslahatan dan kemajuan negeri Ibu Pertiwi ini. Perlakuan adil terhadap pekerja, dan berlakukan syarat-syarat yang terbuka bagi pengusaha asing yang ingin menggelar manufacture mereka di muka bumi tercinta. Bukan mereka yang memiliki sejuta persyaratan, lha wong mereka yang butuh lahan dan sumber daya kita koq??? Hidup Pekerja Indonesia! Hidup Profesionalisme di semua lini!

Ada komentar? Silahkan saja kita berdiskusi...

---
>> Penawaran alternatif healing dengan Detox Foot Patch Nature White.
>> Buktikan keampuhannya dengan garansi uang kembali dengan CARA PEMESANAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar